Home
Kembali
Tinjauan Hukum Pemindahan Ibukota Jakarta Ke Kalimantan Timur

Tinjauan Hukum Pemindahan Ibukota Jakarta Ke Kalimantan Timur


Kamis, 23 Desember 2020 - 09:13:25 WIB - Dibaca : 15270 Pengunjung

Tinjauan Hukum Pemindahan Ibukota Jakarta Ke Kalimantan Timur

Ahmad Yani

Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta

Abstrak
Pemindahan Ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan Timur adalah persoalan hukum. Status Jakarta sebagai Ibukota negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 29 tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan beberapa undang-undang lainnya, seperti Undang-undang tentang pemerintahan Daerah. Dengan adanya wacana pemindahan ibukota tentu akan membawa implikasi hukum bagi Jakarta secara khusus dan negara Indonesia pada umumnya. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan Ibukota. Artinya eksistensi Ibukota begitu sangat penting dari aspek hukum. Maka pemerintah harus menyediakan payung hukum tentang pemindahan ibukota serta dampaknya apabila pemindahan ibukota itu dilakukan. Beberapa Aspek yang akan menjadi implikasi pemindahan Ibukota adalah pertahanan dan keamanan, kondisi geografis, keamanan nasional, lingkungan hidup dan pembangunan yang berkelanjutan..
Kata Kunci: Hukum, Pemindahan ibu kota, Keamanan, Lingkungan.

Abstract 
The transfer of the national capital from Jakarta to East Kalimantan is a legal matter. Jakarta’s status as the nation’s capital is regulated in Law Number 29 of 2007 concerning the Provincial Government of the Special Capital Region of Jakarta and several other laws, such as the Law on Regional Government. With the discourse of moving the capital will certainly bring legal implications for Jakarta in particular and the Indonesian state in general. The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia states the Capital. This means that the existence of the capital city is very important from the legal aspect. So the government must provide a legal umbrella regarding the transfer of the capital and its impacts if the transfer of the capital is carried out. Some aspects that will be implications of moving the Capital are defense and security, geographical conditions, national security, environment and sustainable development.

A. Pendahuluan 

Mangawali tulisan ini, penulis mengutip beberapa ketentuan hukum yang mengatur Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Beberapa Ketentuan hukum tersebut adalah Penetapan Presiden (Perpres) Nomor 2 Tahun 1961 dalam pertimbangannya menyebutkan: a. bahwa Jakarta Raya sebagai Ibu-kota Negara patut dijadikan kota indoktrinasi, kota teladan dan kota citacita bagi seluruh bangsa Indonesia; b. bahwa sebagai Ibukota Negara, Daerah Jakarta Raya perlu memenuhi syarat-syarat minimum dari kota Internasional dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Selanjutnya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1964 kembali ditegaskan, dalam bagian pertimbangannya menyatakan: bahwa perlu menyatakan Daerah Khusus Ibu-Kota Jakarta Raya, yang merupakan kota pencetusan proklamasi kemerdekaan serta pusat penggerak segala aktivitas revolusi dan penyebar ideologi Pancasila keseluruh penjuru dunia serta yang telah menjadi Ibu-Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan nama Jakarta sejak Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, tetap sebagai Ibu-kota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta. Dari dua peraturan tersebut jelas dan terang bahwa Jakarta dipilih sebagai Ibukota karena pertimbangan beberapa aspek. Yaitu; Aspek Sosio-historis, aspek pertahanan dan keamanan, aspek ideologi, dan tentu sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi negara. Karena itu bagi bangsa Indonesia, Jakarta merupakan kota yang memiliki sejarah yang menjadi identitas nasional Indonesia dengan beragam suku, Bahasa, etnis dan agama yang telah hidup berdampingan sebagai warga negara. Tulisan berikut ini mencoba untuk melakukan telaah secara yuridis tentang pemindahan Ibukota dari Jakarta ke Kalimantan Timur ditinjau dari segi hukum dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ibukota dan juga menjelaskan secara sosio historis kenapa Jakarta harus menjadi Ibukota negara.

B. Ibu kota Negara 

Ibu kota adalah pusat negara yang memiliki status utama dalam pemerintahan negara yang diatur oleh Undang-Undang negara masing-masing. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ibu kota adalah kota tempat kedudukan pusat pemerintahan suatu negara, tempat dihimpun unsur administratif, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.1 Sebagai pusat pemerintahan, ibu kota umumnya berfungsi sebagai pusat kekuasaan politik dan ekonomi sehingga ibu kota memainkan peran penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain sebagai pusat pemerintahan, Ibu kota harus menggambarkan corak sebuah negara, baik itu dari aspek historis, aspek budaya dan aspek sosial. Karenanya ibu kota harus memiliki sisi yang unik, yang menggambarkan identitas sebuah negara. Ibu kota sebagai bagian dari identitas sebuah negara yang memiliki multifungsi dalam menjalankan berbagai kegiatan pemerintahan, diplomasi dan ekonomi (1 “Arti kata ibu”. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, diakses 25 Maret 2020). Harus memiliki keistimewaan tersendiri bagi Negara. Keistimewaan itu bisa dalam bentuk sejarah, strategis bagi pertahanan dan keamanan, budaya dan geografis. Dalam menentukan ibu kota sebuah negara, harus  berdasarkan pertimbangan berbagai aspek, bukan hanya ditinjau dari segi ekonomi saja, sebab Ibu kota adalah pusat bagi sebuah negara dengan berbagai kedudukannya yang strategis. Ibu kota dirancang sebagai pusat pemerintahan suatu negara, secara fisik ibu kota negara umumnya difungsikan sebagai pusat perkantoran dan tempat berkumpul para pimpinan pemerintahan.2 C. Payung Hukum Jakarta Sebagai Ibu kota Secara hukum, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) telah menjadikan Jakarta sebagai ibu kota negara. Keputusan untuk menjadikan Jakarta sebagai Ibu kota telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dimulai dari Penetapan Presiden (Perpres) nomor 2 Tahun 1961, hingga disempurnakan pada dengan UndangUndang nomor 29 tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta Sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan berbagai keunikan dan keberagamannya Jakarta menjadi kota sejarah dan identitas nasional Indonesia. Selain sebagai kota perjuangan Jakarta juga menjadi mercusuar dan miniatur Indonesia yang selama 70 Tahun lebih menjadi ibu kota bagi negara Indonesia merdeka.(2 Yahya, H. M. (2018). Pemindahan Ibu Kota Negara Maju dan Sejahtera. 14(01), 21–30. https://doi. org/10.23971/jsam.v14i1.kemerdekaan).Dari segi sejarah tentu tidak bisa dinafikan bahwa Jakarta merupakan pusat perjuangan bangsa Indonesia di zaman penjajahan, baik di zaman Belanda maupun Zaman Jepang. Jakarta adalah kota yang melahirkan sumpah pemuda, dimana para pemuda menyatakan satu tanah air, satu bangsa dan satu Bahasa, yaitu Indonesia. Di Jakarta Indonesia merumuskan kemerdekaan dan di Jakarta pula proklamasi di bacakan. Jadi dari aspek historis, Jakarta merupakan sebuah kota yang bersejarah dan tempat mengenang perjuangan bangsa Indonesia. Selain kaya akan sejarah, Jakarta juga menggambarkan keberagaman Indonesia. Data Tahun 2000 menggambarkan keberagaman Jakarta dari segi suku dan etnis. Orang  Jawa  sebanyak 35,16%, Betawi (27,65%), Sunda (15,27%), Tionghoa (5,53%), Batak (3,61%), Minangkabau (3,18%), Melayu (1,62%), Bugis (0,59%), Madura (0,57%), Banten (0,25%), dan Banjar (0,1%).3 Hal tersebut menggambarkan keragaman etnis yang hidup berdampingan di Jakarta. (3 Indonesia’s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Institute of Southeast Asian Studies. 2003). Sementara data Jakarta.go.id, Tahun 2015, menggambarkan keberagaman agama yang hidup berdampingan di Jakarta. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 10 juta jiwa. Warga yang memeluk agama Islam mencapai 8,34 juta jiwa atau 83 persen dari total populasi. Sementara warga Jakarta yang beragama Kristen mencapai 862,9 ribu jiwa dan Katholik 404,2 ribu jiwa.4 Indonesia tidak hanya mempunyai beragam kebudayaan dan bahasa, tetapi juga beragam agama. Dan Ibu kota Jakarta telah menjadi icon keberagaman itu dengan baik, warga Jakarta yang memiliki perbedaan Agama dapat hidup bersama. Kenyataan sosial tersebut di atas perlu menjadi pertimbangan utama bagi pemerintah dalam memutuskan pemindahan Ibu kota. Maski Presiden Joko Widodo telah mengumumkan hasil kajian pemerintah mengenai lokasi ideal bagi pembangunan ibu kota baru Republik Indonesia, namun payung hukumnya belum ada. Presiden telah menetapkan dua wilayah di Provinsi Kalimantan Timur sebagai lokasi pembangunan ibu kota baru. Pada kenyataannya sampai saat ini Pemerintah masih mengkaji skema pemindahan ibu kota, termasuk payung hukum dan regulasi yang mengaturnya. Dengan adanya pemindahan Ibu kota tentu memberikan implikasi tersendiri baik dari aspek historis sebagaimana yang dijelaskan di atas, juga akan berdampak secara hukum. Sebab Undang-undang yang mengatur Jakarta sebagai Daerah (4 katadata.co.id, 83 Persen Penduduk DKI Jakarta Beragama Islam, (2016) atau selengkapnya di-https://databoks.katadata.co.id/ datapublish/2016/09/06/83-persen-pendudukDKI-Jakarta-beragama-Islam, diakses 25 Maret 2020). Khusus Ibu kota sampai hari ini masih berlaku dan belum di ubah. Undang-undang Nomor 29 tahun 2007 Tentang Daerah Khusus Ibu kota Jakarta menegaskan bahwa Jakarta adalah Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Setidaknya ada tiga tiga pasal yang mengatur tentang kedudukan, fungsi dan peran Jakarta sebagai ibu kota negara. Pasal 3 (Kedudukan) : Provinsi DKI Jakarta berkedudukan sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 4 (Fungsi): Provinsi DKI Jakarta adalah daerah khusus yang berfungsi sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus sebagai daerah otonom pada tingkat provinsi.
Pasal 5 (Peran): Provinsi DKI Jakarta berperan sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional.
Kekhususan Jakarta sebagai Ibu kota sampai hari ini masih diatur dalam undangundang dan belum ada perubahan apapun. Dengan  kedudukan sebagai Ibu kota dengan peran dan fungsinya sebagai pusat pemerintahan dan pusat ekonomi negara. Dengan undang-undang tersebut jelas bahwa secara hukum Jakarta masih menjadi Ibu kota negara. Dalam Pasal 399 UU Nomor 23 Tahun 2014 Sebagaimana yang diubah dengan Uu Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pemerintahan Daerah Menyebutkan: “Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang yang mengatur keistimewaan dan kekhususan Daerah tersebut.” Apabila pemindahan ibu kota dilakukan status Daerah Khusus Ibu kota Jakarta harus di atur ulang dengan regulasi. Apakah itu Jakarta tetap menjadi derah khusus atau daerah Istimewa atau menjadi daerah lain yang ada? Kejelasan status Jakarta memberikan implikasi hukum yang besar, karena Jakarta memiliki system pemerintahan yang berbeda dengan daerah-daerah lain. Dari sisi hukum pemindahan Ibu kota perlu ada payung hukum yang jelas dan terang. Selain harus merubah Undangundang yang ada, juga harus ada aturan setingkat undang-undang yang mengatur pemindahan ibu kota. Sampai sejauh ini pemerintah masih mewacanakan pemindahan Ibu kota dan belum ada pengkajian yang komprehensif dan menyeluruh mengenai payung hukum yang memperkuat wacana tersebut. Secara umum perpindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur mengharuskan lembaga-lembaga negara yang oleh undang-undang berkedudukan di ibu kota negara harus segera
memindahkan kantornya di ibu kota negara baru, Seperti Ombudsman Republik Indonesia misalnya, disebutkan  Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, “Ombudsman berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.” Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdapat dua Pasal yang menyebut Ibu kota. Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di Ibu kota negara. Lalu, ada Pasal 23G ayat (1) yang menegaskan BPK berkedudukan di ibu kota negara, dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Artinya lembaga-lembaga negara yang diharuskan baik oleh UUD 1945 maupun oleh undang-undang bersidang maupun berkedudukan di Ibu kota negara wajib berkedudukan di ibu kota negara. Karena itu impikasinya besar dari segi hukum.

D. Daya Dukung Ekonomi

Jika ibu kota akan dipindah, tentu akan ada efek bagi daerah yang didatangi dan daerah yang ditinggalkan. Wacana pemindahan ibu kota ini bukan merupakan isu yang baru muncul. Kalau hanya persoalan banjir di Jakarta dijadikan sebagai temeng untuk memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur tentu tidak cukup. Jika pemindahan Ibu kota bisa mengatasi masalah Indonesia yang mengganggu ibu kotanya yang sudah terlalu padat, dengan memindahkan 1,5
Jurnal DEMOKRASI     Kesbangpol DKI Jakarta68 Edisi Maret 2020
juta orang aparatur sipil negara (ASN) ke Kalimantan Timur bisa menjadi solusi bagi Indonesia tentu ini menarik. Kemacetan lalu lintas juga terbilang parah di kota ini, berkontribusi menimbulkan kabut asap hingga membebani ekonomi nasional sekitar Rp 100 triliun per tahun. Namun, banjir juga bisa dikatakan sebagai masalah yang lebih buruk. Jakarta dibangun di atas rawa dan dilewati oleh 13 aliran sungai. Kota ini semakin tenggelam oleh banjir hingga 25 sentimeter per tahun. Begitu pula tanggul laut yang dirancang untuk melindungi dataran rendah di utara. Permintaan air minum yang tinggi, sebagian besar diekstraksi dari sumur bawah tanah, juga berkontribusi terhadap fenomena ini. Diperkirakan 95% Jakarta akan terendam banjir pada 2050.5 Biaya untuk memindahkan ibu kota 1.000 km ke utara selama 10 tahun diperkirakan mencapai Rp 466 triliun (AUS$ 48,7 miliar). Sekitar 19% dari kebutuhan dana itu merupakan hasil kemitraan publik-swasta dan investasi swasta. Pengaturan itu dapat menciptakan “perangkap utang” terutama jika kota ini tidak berkelanjutan secara ekonomi. Tentu membutuhkan skema anggaran yang rinci, kajian ekonomi yang berkelanjutan, serta dampaknya bagi Indonesia kedepan. Daya dukung keuangan harus menjadi pertimbangan utama bagi pemerintah. Kondisi Ekonomi yang sedang terus merosot disebabkan hutang dengan bunga tinggi membawa dampak besar (5 Maud Cassaignau: Perangkap Utang dan Potensi Masalah Pemindahan Ibu Kota, https://katadata. co.id/opini/2019/12/06/perangkap-utang-danpotensi-masalah-pemindahan-ibu-kota, Diakses 24 Maret 2020)
bagi perekonomian nasional. Ancaman resesi terus terjadi, sehingga rencana pemindahan Ibu kota ditengah “paceklik” keuangan negara menjadi sebuah pembicaraan yang tidak menentu. Pada akhirnya pemerintah kelihatannya tidak secara serius menyikapi apa yang diwacanakannya sendiri. Bahkan sampai saat ini belum ada pusat kajian yang cukup komprehensif dan punya concern pada isu tersebut. Terlebih lagi instansi yang menghasilkan kajian yang dapat menjadi masukan dalam policy making. Jika dikaji lagi, siapa yang bertanggungjawab terhadap wacana pemidahan ibu kota? Ini adalah contoh isu “yang dalam pandangan pembicara bukan autopilot” namun fragmented. Daya dukung ekonomi dan infrastruktur sangat penting, karena ibu kota baru akan diintegrasikan dengan kota-kota yang ada. Pembangunan infrastruktur dan pusat-pusat perkantoran memerlukan biaya yang besar, penyediaan lahan termasuk bagaimana rekayasa ekologi sehingga tidak terjadi kerusakan lingkungan ketika pembangunan itu terjadi.

E. Pertahanan dan Keamanan

Ibu kota tidak cukup hanya persiapan fisik, harus sudah melalui proses kajian holistik dan menyeluruh. Termasuk aspek pertahanan, keamanan, dan faktor-faktor strategis esensial lainnya. Paling penting adalah aspek pertahanan untuk mencegah agar pemindahan tersebut tidak disusupi kepentingan atau masuknya militer asing ke Indonesia.Pertimbangan corak sosial serta budaya masyarakat penduduk calon ibu kota baru juga menjadi penting, sehingga tidak memiliki resistensi serta potensi konflik terhadap dinamika perpindahan ibu kota. Indikator yang terkait dalam perspektif keamanan adalah indeks demokrasi Indonesia, indeks kerukunan beragama, dan indeks pembangunan manusia. Sedangkan dalam perspektif pertahanan, sebuah ibu kota harus mempertimbangkan posisi geografis dan infrastruktur pertahanan ibu kota baru sehingga tidak rentan dari serangan eksternal maupun bencana alam. Indikator yang mengukur pertahanan adalah indeks rawan bencana, global firepower index, dan global cybersecurity index.6 Sebagai pusat pemerintahan, ibu kota baru ini harus disiapkan sedemikian rupa agar mampu menghadapi dua jenis ancaman, yakni: Ancaman Tradisional dan ancaman non-tradisional. Adapun Ancaman Tradisional itu berupa ancaman militer dari aktor negara yang ingin menggganggu, mengancam, atau merusak kesatuan serta kedaulatan NKRI; sementara Ancaman Non-Tradisional, yakni ancaman dari aktor non-negara berupa teror, perampokan, kriminalitas, penyelundupan obat-obatan terlarang dan lainnya yang dapat menimbulkan rasa tidak aman di tengah masyarakat. Untuk menghadapi ancaman tradisional, ibu kota pemerintahan perlu dilengkapi dengan peralatan dan pasukan militer yang memadai. Aparat yang memadai juga diperlukan untuk melindungi dan meastikan keamanan
6 Pertahanan, P. (2019). Pemindahan Pusat Pemerintahan.
kepala pemerintahan, juga pejabatpejabat tinggi negara. Penduduk yang tinggal di ibu kota pemerintahan, perlu dibentuk menjadi masyarakat yang siap siaga, tanggap, dan tangguh. Untuk mendukung hal-hal diatas, diperlukan infrastruktur pendukung, di antaranya: Bandara,  Pelabuhan , Pangkalan militer, Akses jalan yang memadai ke kota-kota sekitarnya, Pusat data untuk mencegah kejahatan siber, dan lain sebagainya. Apakah Kalimantan Timur merupakan daerah strategis pertahanan Negara? Dalam undang-undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, menyebutkan bahwa  Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Dalam Pasal 3 ayat (2) di katakan “Pertahanan negara disusun dengan memperhatikan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan.” Kondisi geografis suatu wilayah sangat menetukan bagi pertahanan suatu bangsa, yang lebih utama lagi bahwa Ibu kota harus aman dari segala ancaman dan kerawanan serta menjadi pusat pertahanan nasional. Pertahanan tidak hanya dengan kekuatan militer saja, tetapi juga berkaitan dengan pertahanan ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Kalau kita melihat letak geografis, Ibu kota Baru di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, berada di pulau yang ditempati
Jurnal DEMOKRASI     Kesbangpol DKI Jakarta70 Edisi Maret 2020
tiga negara, yakni Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Berbeda dengan Jakarta, Ibu kota baru berada satu daratan dengan negara tetangga oleh karena itu harus diantisipasi ancaman keamanan dan pertahanan yang kemungkinan datang dari  negara-negara tetangga dan ancaman lainnya adalah Ibu kota baru berhadapan dengan jalur laut internasional yang rawan akan konflik karena berhadapan dengan beberapa negara ASEAN yang terdekat adalah Malaysia dan Filiphina.7 Menurut saya, pemindahan ibu kota menghilangkan keuntungan militer yang selama ini ada di Jakarta, yaitu strategic depth atau kedalaman strategis. Strategic depth  merupakan konsep pertahanan yang melihat jarak pusat gravitasi suatu negara–dalam hal ini ibu kota–dari garis pertempuran. Karena dalam konteks ini ancaman pertahanannya berasal dari luar, strategic depth adalah seberapa jauh jarak ibu kota dari perbatasan. Sementara di Kalimantan Timur kita berbatasan langsung dengan negara Malaysia, Singapura dan Brunei Darusalam. Di Singapura meskipun bantah oleh Amerika Serikat (AS) bahwa mereka tidak memiliki Pangkalan Militer, namun dalam kenyataanya mengakui ada penempatan militer AS di Singpura. Sementara di Australia tahun 2011, AS telah membentuk Pangkalan militer di Darwin. Sementara di Jakarta posisi Militer kita cukup kuat dan unggul serta tidak berhadapan langsung dengan kekuatan militer negara tetangga. Kalau kita menggunakan strategi depth Ancaman
7 https://fairtalks.org/pemindahan-ibukotanegara-indonesia-dalam-perspektif-pertahanandan-keamanan/, diakses 21 Maret 2020.
negara-negara tentangga sangat tinggi di Kalimantan Timur. Sebab semakin dekat ibu kota dengan sumber datangnya musuh (perbatasan), semakin besar pula ancaman bagi ibu kota. Hal inilah yang selama ini dinikmati Indonesia dengan posisi ibu kota yang ada di Jakarta. Posisi Jakarta yang berada di tengah dan ujung selatan Indonesia memberikannya  strategic depth  yang dalam dan menjadikannya cenderung aman dari ancaman luar. Jika serangan datang dari arah utara misalnya, masih ada pasukan-pasukan TNI di Kepulauan Riau, Kalimantan, dan Sulawesi yang bisa mencegat ancaman tersebut. Jika datang dari Timur, masih ada Papua. Jika ancaman datang dari Barat, masih ada Pulau Sumatera. Sementara wilayah selatan Jakarta cukup aman karena berbatasan dengan Samudera Hindia. Kalaupun serangan datang dari wilayah Australia misalnya, lagi-lagi masih ada Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara. Dengan demikian, dipindahkannya ibu kota ke Kalimantan akan menghilangkan keuntungan militer dalam hal  strategic depth tersebut.8

F. Perspektif Keamanan Lingkungan

Pemindahan ibu kota ke Kalimantan dikhawatirkan akan berpotensi menambah kerusakan lingkungan. Proyek pemindahan pusat pemerintahan Indonesia membutuhkan lahan baru. Kebutuhan lahan baru ini muncul masalah pergesaran alih fungsi lahan dari hutan jadi lanskap kota. Sementara kebutuhan (8 https://www.pinterpolitik.com/ibu-kota-barutni-dilemahkan, diakses 23 Maret 2020).lahan bagi ibu kota begitu besar. Tentu akan menyebabkan terjadilah perusakan hutan disekitar daerah pembangunan ibu kota baru. Konsep  smart, green city  untuk ibu kota baru harus dilaksanakan dengan konsisten. Pembangunan PLTU-PLTU yang berpotensi membuat polusi dan pencemaran Lingkungan. Sumber energi kota harus dari energi terbarukan. Keberadaan tambang-tambang batu bara tidak hanya akan menghasilkan polusi udara, tapi juga berbagai bencana lingkungan lain seperti banjir dan kekeringan, seperti yang sudah terjadi di Samarinda, salah satu kota terdekat dengan wilayah ibu kota baru ini. Data Greenpeace menunjukkan bahwa lokasi ibu kota baru ini pun tidak bebas dari kebakaran hutan dan kabut asap. Selama krisis kebakaran hutan tahun 2015 ada sebanyak 3487 titik api di Kabupaten Kutai Kartanegara. Tahun ini sudah ada 105 titik api, dengan musim kebakaran hutan yang belum menunjukkan tanda berhenti. Analisis Greenpeace menunjukkan total area  ‘burnscar’  yang terkena dampak kebakaran hutan seluas 35.785 hektar antara 2015-2018. Pengembangan ibu kota baru harus dipastikan tidak menggunakan kawasan lindung atau cagar alam, karena pasti akan menyebabkan deforestasi tambahan dan ancaman terhadap hewan langka Kalimantan seperti Orangutan. 9 Kenyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa tempat yang ingin di bangun Ibu kota baru tidak(9 https://www.greenpeace.org/indonesia/siaranpers/3652/tanggapan-greenpeace-Indonesiaterhadap-rencana-pemindahan-ibu-kotaIndonesia-ke-Kalimantan-Timur, diakses 24 Maret 2020). terlepas dari bencana dan kebakaran hutan. Karena itu pemindahan Ibu kota harus melihat kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.10 Disinilah pentinganya peran Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) sebagai lembaga negara harus mampu merespon isu-isu pembangunan yang muncul pada level nasional, termasuk tentang isu pemindahan ibu kota. Namun Bappenas juga mengalami degradasi setelah Fungsi budgeting Bappenas ini telah dikurangi. Tidak masalah jika Bappenas tidak punya kekuatan dalam penentuan alokasi anggaran, akan tetapi tetap peran strategis Bappenas sebagai institusi perencana pembangunan harus tetap berjalan sebagaimana fungsi lembaga tersebut.  Sejak muncul wacana pemindahan Ibu kota, tidak ada satupun pemikiran progresif yang dilontarkan oleh Bappenas, ataupun Kementrian Pekerjaan Umum sebagai respon terhadap wacana yang muncul ini. Karena itu perencanaan ini menjadi mandul, dan bahkan hanya sekedar wacana saja. Oleh sebab itu, alasan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan TImur belum terdapat kajian yang holistic. Meninggalkan Jakarta dengan alasan polusi dan banjir tidak cukup, karena itu juga adalah merupakan kegagalan 10 Pasal 1 Ketentuan Umum Angka 24 UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. pemerintah pusat untuk menjaga ibu kota.

G. Penutup dan Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Jakarta masih layak bahkan sangat masih layak menjadi Ibu kota. Dari segi hukum, Jakarta masih menyandang status Ibu kota itu, belum ada perubahan sama sekali termasuk beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur kekhususan Jakarta sebagai Ibu kota. Dari segi pertahanan dan keamanan Jakarta masih menjadi posisi strategis bagi pertahanan militer Indonesia. Posisi daerah yang tidak langsung berbatasan dengan wilayah-wilayah negara tentangga memperkecil bagi kekuatan militer negara asing untuk menduduki ibu kota. Perang dan damai dapat terjadi kapan saja, maka persiapan militer tetap harus kuat. Memindahkan pusat kekuatan militer di Kalimantan timur, selain membutuhkan anggaran yang besar juga memerlukan berbagai persiapan matang. Dari segi keamanan dan lingkungan hidup, memang Jakarta rawan banjir dan pengapnya polusi udara. Namun melihat potensi kerawanan bencana di Kalimantan, kita dapat melihat daerah itu juga rawan terjadinya berncana kebakaran hutan dan polusi disebabkan karena tambang dan
pembangunan PLTU. Menurut penulis, akan lebih efektif mengatasi dengan keterlibatan pemerintah pusat sebagaimana juga yang pernah di janjikan oleh Presiden joko Widodo ketika mencalonkan diri sebagai Presiden. Keterlibatan pemerintah pusat untuk mengatasi banjir setiap musim hujan tentu akan mengurangi resiko bencana di Jakarta. Yang penting dipertimbangkan adalah kondisi ekonomi negara yang hari-hari ini sedang mengalami kesulitan. Ancaman resesi selalu menghantui dan keadaan perekonomian nasional yang tidak menentu, pertumbuhan ekonomi yang lamban dan berbagai persoalan ekonomi yang sedang menghantam Indonesia bahkan dunia sekarang ini. Sementara pemindahan ibu kota memerlukan biaya yang besar. Oleh karena itu sebagai kesimpulan dari tulisan ini, penulis ingin mengatakan bahwa pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur ditinjau dari perspektif hukum dan perundang-undangan yang berkaitan dengan Jakarta, pertahanan dan keamanan, penanggulangan bencana dan pemerintahan daerah, masih memerlukan kajian yang holistik dan komprehensif, sehingga tidak parsial dan berujung sebagai wacana politik tahunan.


Bagikan Melalui


Komentar Anda