Jakarta Paska Pemindahan Ibu Kota Perspektif Hubungan Internasional?
Asep Kamaluddin Nashir
Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Negeri Veteran Jakarta
Abstrak
Situasi yang ada di dunia internasional saat ini justru dapat menjadi jalan bagi Jakarta untuk meningkatkan kapasitas dirinya untuk ‘bermain’ di tingkat global. Dengan ‘warisan’ pemerintahan pusat yang sudah ada ditambah dengan dipertahankannya status Jakarta sebagai pusat ekonomi dan bisnis justru dapat memudahkan kota ini untuk menjelma menjadi global city atau kota global. Lepasnya status ibu kota juga dapat dilihat dalam hal positif dimana intervensi pemerintah pusat akan menjadi minimal. Ketika masih menjadi ibu kota negara, Jakarta memiliki keterbatasan ketika hendak mengembangkan dirinya. Setiap upaya yang hendak dilakukan haruslah mempertimbangkan statusnya sebagai ibu kota yang mana pusat pemerintahan berada. Oleh karena itu, jika wacana pemindahan ibu kota jadi dilakukan, maka hal itu bukanlah sesuatu hal yang harus dikhawatirkan oleh Jakarta. Sebaliknya, pemindahan ibu kota dapat menjadi sarana bagi Jakarta untuk mencapai dua target dasar. Pertama, menguraikan permasalahan-permasalahan kota yang selama ini menjadi ancaman tersendiri bagi Jakarta. Kedua, dan kesempatan bagi Jakarta untuk meningkatkan status dari ibu kota yang cenderung bersifat lokal menjadi kota global dengan semangat kosmopolitan.
Kata Kunci: Jakarta, Ibu Kota, Perspektif, Hubungan Internasional
Abstract
The current situation in the international world can actually become a way for Jakarta to increase its capacity ‘to play’ on a global level. With the ‘legacy’ of the existing central government coupled with the retention of Jakarta’s status as an economic and business center it can actually facilitate this city to become a global city. The release of the status of the capital city can also be seen in positive terms where central government intervention will be minimal. When it was still the capital of the country, Jakarta had limitations when it wanted to develop itself. Every effort to be made must consider its status as the capital city where the center of government is located. Therefore, if the discourse of moving the capital city is to be carried out, then that is not something that should be worried by Jakarta. Conversely, the relocation of the capital can be a means for Jakarta to achieve two basic targets. First, it outlines the city’s problems that have been a threat to Jakarta. Second, and an opportunity for Jakarta to improve the status of a capital that tends to be local to become a global city with a cosmopolitan spirit.
A. Pendahuluan
Pada 16 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam pidato kenegaraan di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), meminta izin untuk memindahkan ibu kota ke Kalimantan. Selang 10 hari kemudian, Presiden Jokowi mengumumkan Kabupaten Penajam Paser Utara dan kabupaten Kutai Kartanegara sebagai wilayah yang akan dijadikan ibu kota baru. Kemungkinan besar, Presiden Jokowi akan memilih Kecamatan Samboja di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kecamatan Sepaku di Kabupaten Penajam paser Utara sebagai wilayah administrasi baru ibu kota negara Republik Indonesia. Wacana pemindahan ibu kota, sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Sejak masa Presiden Soekarno, wacana memindahkan ibu kota telah digulirkan. Bahkan Presiden Soekarno telah menetapkan Palangkaraya sebagai ibu kota negara. Pemilihan Palangkaraya sebagai ibu kota disebabkan letak geografisnya yang berada di tengah negara kepulauan Indonesia. Bahkan Presiden Soekarno sendiri yang merancang cetak biru tata letak dan ruang ibu kota. Sayangnya, keuangan negara saat itu terpakai untuk penyelenggaraan Asian Games 1962 dan Games of New Emerging Forces (Ganefo), termasuk untuk pembangunan Gelanggang Olahraga di Senayan (sekarang bernama Gelora Bung Karno/GBK) dan Tugu Selamat Datang. Belum lagi dengan krisis ekonomi yang terjadi setelahnya membuat rencana pemindahan ibu kota ditunda. Pada masa Presiden Soeharto, pemusatan segala aktivitas kehidupan yang bersifat sentralistik membuat Jakarta semakin didatangi oleh penduduk daerah yang hendak bekerja. Jakarta kemudian menjadi semakin padat hingga memunculkan kembali wacana pemindahan ibu kota. Tetapi, lokasi yang dirancang sebagai ibu kota baru tidak lagi di Palangkaraya. Pilihan kemudian jatuh ke Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor. Pemerintah saat itu mempertimbangkan jarak Jakarta dan Jonggol yang relatif dekat sehingga proses pembangunan maupun perpindahan aktivitas dapat dilakukan secara bertahap. Hal ini sebagaimana lokasi ibu kota baru Malaysia, Putrajaya yang tidak jauh dari Kuala Lumpur. Namun, kembali perpindahan ibu kota menemui kegagalan menyusul tumbangnya pemerintahan Orde Baru oleh peristiwa Reformasi di tahun 1998. Pada saat Reformasi, wacana pemindahan ibu kota kembali digulirkan. Baiquni (2004) menjelaskan ada lima lokasi yang dianggap memiliki potensi untuk menjadi ibu kota baru, yaitu: Yogyakarta, Magelang, Purwokerto, Malang dan Kalimantan Tengah (Sutikno, 2007). Tetapi, pemerintahan Presiden B. J. Habibie maupun Presiden Abdurrahman Wahid tidak menjadikan wacana ini sebagai prioritas karena sedang fokus pada upaya stabilitas keamanan dan memperbaiki citra negara di dunia internasional. Kemudian pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) wacana pemindahan ibu kota kembali digulirkan. Adanya ancaman banjir secara periodik, semakin meningkatnya penduduk Jakarta yang berdampak pada kemacetan dan kualitas kehidupan yang menurun membuat Presiden SBY membuka kembali wacana pemindahan ibu kota. Namun berbeda dengan para pendahulunya, Presiden SBY mencoba menawarkan tiga opsi terkait ibu kota, yaitu: mempertahankan Jakarta sebagai ibu kota dengan melakukan pembenahan total; Jakarta tetap menjadi ibu kota, tetapi pusat pemerintahan dipindahkan ke daerah lain; dan membangun ibu kota baru. Sayangnya hingga masa jabatannya berakhir, Presiden SBY belum mampu memutuskan opsi mana yang akan diambil. Akhirnya Jakarta pun tetap menjadi ibu kota tanpa ada solusi yang jelas mengenai pembenahannya. Sejak diumumkannya rencana pemindahan ibu kota, banyak akademisi maupun praktisi dari berbagai rumpun ilmu mencoba menganalisis peluang perpindahan tersebut, terutama dari aspek ekonomi, terkait ketersediaan dana untuk membangun ibu kota baru, dan aspek sosial, yang berkenaan dengan perubahan peta demografis yang akan dihasilkan. Tetapi, sedikit tulisan yang mencoba menganalisis masa depan Jakarta setelah tidak lagi menjadi ibu kota. Padahal konsekuensi dari hilangnya status ibu kota cukup besar. Jangan sampai kebijakan tersebut menguntungkan daerah lain, tetapi membawa permasalahan baru bagi Jakarta, terutama yang berkenaan dengan kesejahteraan masyarakatnya. Oleh karena itu, artikel ini dimaksudkan untuk meninjau potensi Jakarta setelah tidak lagi menjadi ibu kota yang ditinjau dari sudut pandang Hubungan Internasional (HI).
B. Sejarah Perkembangan Jakarta
Sejarah perkembangan Kota Jakarta dapat ditelusuri hingga ratusan tahun yang lalu. Tepatnya pada abad ke-5 melalui keberadaan Pelabuhan Sunda Kelapa yang terletak di sisi utara kota. Pelabuhan ini awalnya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara sebelum dikuasai oleh Kerajaan Sunda pada abad ke-12 (National Geographic Indonesia, 2018). Dari pelabuhan itulah interaksi berbagai ragam etnis dan kebudayaan berlangsung, termasuk dengan kebudayaan di luar Kepulauan Nusantara, seperti: India, Cina, Islam dan Eropa (Haris, 2007). Lambat laun Sunda Kelapa tumbuh menjadi pelabuhan yang ramai dan secara otomatis turut mengembangkan wilayahnya dengan semakin bertambahnya penduduk dari waktu ke waktu. Mengingat letaknya yang strategis, Portugis kemudian mengadakan hubungan dagang dengan Kerajaan Sunda hingga akhirnya diizinkan untuk membuka kantor dagang. Nantinya, Portugis mampu mengontrol Sunda Kelapa dan dianggap merugikan pihak lain. Pada 22 Juni 1527, Kesultanan Demak, di bawah pimpinan Fatahilah, berhasil menaklukkan Portugis dan menguasai Sunda Kelapa. Nama Sunda Kelapa kemudian diganti dengan Jayakarta yang memiliki arti “Kota Kemenangan.” Sementara 22 Juni 1527 dijadikan sebagai hari lahir kota yang diperingati hingga saat ini. Semakin berkembangnya Jayakarta membuat Kerajaan Belanda, di bawah pimpinan Cornelis de Houtman, tertarik untuk singgah pada tahun 1596. Tujuan Belanda mendatangi Jayakarta adalah untuk mencari rempah-rempah. Seiring berjalannya waktu, Belanda berhasil menguasai Jayakarta dan memindahkan pusat kekuasaannya dari Banten ke Jayakarta. Nama Jayakarta sendiri kemudian diubah menjadi Batavia. Di bawah Belanda, Batavia mengalami perluasan wilayah mengingat semakin banyaknya penduduk yang tinggal di Batavia (Sedyawati, Rahardjo, Johan, & Ohorella, 1987). Kekalahan Belanda dari Jepang pada Perang Pasifik tahun 1942 membuat Batavia mengalami perubahan nama. Saat itu, nama yang dipilih adalah Djakarta diambil dari kata Jacatra yang menjadi penyebutan orang-orang Eropa untuk Jayakarta. Kekuasaan Jepang di Indonesia tidak berlangsung lama, dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia oleh Ir. Soekarno dan Mr. Muhammad Hatta, membuat Jakarta kembali berpindah kekuasaan. Status Batavia sebagai pusat pemerintahan Belanda menyebabkan aktivitas politik nasional juga bertempat di kota tersebut, termasuk ketika terjadinya peristiwa Sumpah Pemuda pada tahun 1928 dan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Belum lagi dengan banyaknya peninggalan kolonial yang dapat digunakan, seperti: kantor Gubernur Hindia-Belanda yang dialih fungsikan menjadi Istana Presiden, dan fasilitas lainnya. Maklum saja, pemerintahan baru Indonesia merdeka tidak memiliki dana untuk membangun fasilitas pemerintahan (Sutikno, 2007). Atas dasar inilah, Presiden Soekarno menetapkan Jakarta sebagai pusat pemerintahan atau ibu kota negara. Tetapi, perlu dicatat bahwa ibu kota negara sempat dipindahkan ke Yogyakarta pada 3 Januari 1946. Hal ini dikarenakan situasi Jakarta yang tidak lagi kondusif dengan kedatangan pasukan Nederlansch Indische Civiele Administratie (NICA). Dua tahun setelahnya, ibu kota dipindahkan ke Bukittinggi, pada saat dibentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), akibat adanya Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Pada 6 Juli 1949, ibu kota kembali ke Yogyakarta hingga dibubarkannya Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dihasilkan oleh Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949. Dengan bubarnya RIS, ibu kota negara kembali ke Jakarta terhitung sejak 17 Agustus 1950 (Raditya, 2019). Sejak era Orde Lama, Jakarta terus mengembangkan wilayahnya baik ke selatan, barat, maupun timur. Hal ini kemudian membentuk kawasan suburban yang ditempati oleh para penduduk yang bekerja di Jakarta. Awalnya Jakarta ditempatkan sebagai bagian dari Provinsi Jawa barat. Baru pada tahun 1959 Jakarta mengalami peningkatan status menjadi Daerah Tingkat I (Propinsi) yang dipimpin oleh Gubernur. Dua tahun kemudian, wilayah ini mendapatkan keistimewaan ketika diubah menjadi Daerah Chusus Ibu kota (DCI) yang sekarang disebut Daerah Khusus Ibu kota (DKI) Jakarta (Sedyawati, Rahardjo, Johan, & Ohorella, 1987). Memasuki era Orde Baru, Jakarta berkembang dengan pesat. Konsep kekuasaan Presiden Soeharto yang sentralistik membuat pembangunan diprioritaskan di wilayah Jakarta, khususnya, dan Jawa umumnya. Belum lagi dengan masuknya beragam investasi yang salah satunya adalah dengan membangun banyak pabrik di kawasan sub-urban Jakarta. Banyak industri yang memiliki kantor pusat maupun perwakilan di Jakarta. Belum lagi dengan status Jakarta sebagai kota ekonomi dan bisnis yang membuat urbanisasi semakin meningkat. Hasilnya, Jakarta semakin padat dari tahun ke tahun.Berakhirnya era Orde Baru ternyata tidak menjamin berkurangnya kepadatan penduduk di Jakarta. Bahkan penduduk Jakarta semakin meningkat yang turut berdampak pada wilayah di sekitar Jakarta, seperti: Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Kota Depok, dan Kota Bekasi. Hal inilah yang kemudian membuat Jakarta disebut sebagai kota (kawasan) metropolitan. Dalam Undang-Undang (UU) No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, kawasan metropolitan diartikan sebagai kawasan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk keselurahan sekurang-kurangnya satu juta jiwa. Kondisi ini turut meningkatkan penduduk ibu kota dari tahun ke tahun, walaupun sejak tahun 1990 lonjakan penduduk mampu ditekan hingga saat ini.Dari survei penduduk antar sensus (SUPAS) yang dilakukan oleh BPS, penduduk di Jakarta tahun 2020 diproyeksikan akan menjadi sekitar 10,57 juta jiwa atau bertambah 72.000 (+0,7%) dari tahun sebelumnya sebanyak 10.504.100 jiwa (Jayani, 2019). Sementara itu, dari hasil penelitian tahun 2017 mencatat kepadatan penduduk di Jakarta mencapai 15.663 jiwa per km persegi diihitung dari luas wilayah sebesar 662,3 km persegi dengan jumlah penduduk mencapai 10,37 juta jiwa (Kusnandar, 2019). Kondisi ini tentunya memerlukan penanganan khusus agar peningkatan penduduk di Jakarta dapat dibatasi atau jika memungkinkan dikurangi. Hal ini dikarenakan dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari terus naiknya jumlah penduduk, sedangkan luas wilayah bersifat tetap. Terdapat tiga dampak negatif dari peningkatan jumlah penduduk. Pertama, terbatasnya sumber-sumber kebutuhan pokok. Jika dibiarkan hal ini dapat mengakibatkan berkurangnya jumlah ketersediaan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Kedua, tidak tercukupinya fasilitas sosial dan kesehatan yang ada. Permasalahan ini dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik sosial di kemudian hari. Ketiga, tidak tercukupinya lahan pekerjaan bagi tenaga kerja yang ada. Jika demikian angka pengangguran akan meningkat dan bukan tidak mungkin akan berdampak pada penurunan kualitas hidup serta meningkatnya tindakan kriminal (Christiani, Tedjo, & Martono, 2014). Selain itu, status sebagai kota multifungsi juga memberikan beban bagi Jakarta sehingga menghasilkan beberapa persoalan yang saling berkaitan satu sama lain. Pertama, adanya pemerintahan yang bersifat sentralistis yang dikendalikan secara otoriter dan terpusat telah mengabaikan kemajemukan sosial budaya masyarakat dan keseragaman ekosistem wilayah negara kepulauan. Hasilnya pemerintahan daerah kehilangan kemandirian sehingga lambat berkembang, termasuk dalam melayani dan memfasilitasi masyarakt. Kedua, kedekatan sumber pemerintahan dan pusat ekonomi menguntungkan elit tertentu dan menyebabkan terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme. Kemudian ketiga, pemusatan segala aktivitas membawa beban bagi Jakarta yang ditandai dengan ledakan jumlah penduduk, kemacetan, kesenjangan ekonomi, kerawanan sosial, kekerasan dan kejahatan. Keempat, beban tersebut turut diikuti oleh krisis ekologi berupa pencemaran udara, air tanah, air bersih, banjir, tata ruang yang tidak jelas, munculnya kawasan kumuh, dan lingkungan hidup yang kurang nyaman. Kelima, ancaman akan munculnya konflik akibat adanya kepentingan ekonomi dan ekologi antara elit dan masyarakat (Sutikno, 2007). Guna mengatasi permasalahan Jakarta, maka salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah dengan memindahkan status ibu kota ke kota lain. Kebijakan ini diharapkan dapat mengurai permasalahan-permasalahan yang ada, minimal para pegawai pemerintah akan turut bermigrasi ke tempat baru. Saat ini tercatat ada sekitar 939.236 pegawai pemerintah yang ada di Jakarta, kendatipun tidak semuanya akan ikut pindah ke ibu kota baru, tetapi setidaknya sudah mampu mengurangi jumlah penduduk ibu kota, belum lagi jika mereka turut serta membawa keluarga (Anwar, 2019). Jika pemindahan ibu kota ini memang jadi dilakukan apakah akan memberikan jaminan bagi Jakarta yang lebih baik?
C. Proyeksi Masa Depan Jakarta
Di era globalisasi, kota telah memainkan peranan yang signifikan. Hal ini turut dipengaruhi oleh adanya perkembangan teknologi sehingga memudahkan kota dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik. Selain itu, semakin cepatnya arus informasi dan kemudahan dalam bertransportasi membuat kota juga mencoba membentangkan sayapnya hingga ke mancanegara. Bahkan dalam beberapa hal telah mampu menjalin aktivitas diplomasi tersendiri yang dikenal dengan istilah paradiplomasi (Ali, 2015). Aktivitas para diplomat diharapkan dapat membantu kota dalam mendapatkan tujuannya, seperti: masuknya investasi asing, peningkatan jumlah wisatawan mancanegara, hingga pembentukan kerjasama strategi dengan kota lain dalam bingkai sister city. Semakin terkikisnya kekuasaan negara telah memberikan kesempatan bagi kota untuk mengembangkan diri. Ditambah dengan semakin terintegrasinya ekonomi dunia telah menyebabkan sikap saling ketergantungan antar aktor semakin nyata. Artinya praktik ekonomi dunia tidak lagi bertumpu pada aktivitas negara, tetapi turut melibatkan aktor lainnya. Belum lagi dengan adanya fakta bahwa tidak semua negara mampu memberikan fasilitas terbaik untuk kota. Tidak mengherankan jika saat ini banyak negara yang justru mendorong kota agar lebih mandiri dalam mendatangkan investasi yang nantinya akan berguna untuk memajukan dirinya dan mensejahterakan warganya. Hal ini turut membuat kota meningkatkan kapasitas dirinya agar mampu menjadi magnet bagi para investor, pebisnis, maupun mitra kerja strategis lainnya. Tidak mengherankan jika aktivitas kota saat ini merupakan proses internasionalisasi diri (Lachapelle & Pacquin, 2005). Situasi yang ada di dunia internasional saat ini justru dapat menjadi jalan bagi Jakarta untuk meningkatkan kapasitas dirinya untuk ‘bermain’ di tingkat global. Dengan ‘warisan’ pemerintahan pusat yang sudah ada ditambah dengan dipertahankannya status Jakarta sebagai pusat ekonomi dan bisnis justru dapat memudahkan kota ini untuk menjelma menjadi global city atau kota global. Lepasnya status ibu kota juga dapat dilihat dalam hal positif dimana intervensi pemerintah pusat akan menjadi minimal. Ketika masih menjadi ibu kota negara, Jakarta memiliki keterbatasan ketika hendak mengembangkan dirinya. Setiap upaya yang hendak dilakukan haruslah mempertimbangkan statusnya sebagai ibu kota yang mana pusat pemerintahan berada. Oleh karenanya aspek keamanan negara patut menjadi pertimbangan ketika hendak membuat suatu terobosan kebijakan. Tetapi, Jakarta juga harus memperbaiki diri mengingat masih adanya beberapa permasalahan yang dihadapi. Jika tidak di atasi dengan segera permasalahan-permasalahan tersebut nantinya dapat menjadi penghalang bagi perwujudan Jakarta sebagai kota global. Setidaknya terdapat 12 karakteristik yang harus dipenuhi oleh Jakarta dalam rangka mewujudkan status kota besar yang hebat dan bermanfaat (DeRenzis & Garrison, 2016).
1. Adanya keunikan identitas lokal yang ditunjukan dari segi pembangunan, arsitektur, dan tempat-tempat menarik yang menekankan budaya, sejarah dan ekologi yang bersifat lokal. Jakarta memiliki identitas yang khas, yaitu: kebudayaan Betawi sebagai etnis lokal Jakarta yang tampak dari beberapa ornamen yang terdapat pada fasilitas umum. Selain itu, perlu ditekankan pula bahwa kendatipun Betawi menjadi simbol budaya lokal Jakarta, tetapi secara umum identitas multikultural yang menunjukkan Jakarta sebagai melting pot budaya Indonesia juga tampak jelas. Hal ini dikarenakan sejak dulu Jakarta menjadi tujuan para perantau yang ingin meningkatkan kapasitas hidupnya. Para perantau ini membawa kebudayaan lokal dan tetap dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari. Adanya tempat-tempat seperti: Kampung Melayu, Kampung Makssar, Kampung Jawa, kampung Arab, Kampung Cina dan lainnya menunjukkan adanya semangat multikulturalisme tersebut. Sebagai tambahan, Betawi sendiri merupakan etnis yang khas karena dianggap sebagai hasil percampuran antara etnis-etnis yang dulu mendiami wilayah Sunda Kelapa.
2. Adanya transportasi yang berkualitas dan nyaman. Kemacetan merupakan salah satu problem terbesar Jakarta. Untuk menanggulangi masalah ini, pemerintah kota menggalakkan kebijakan untuk memperbaiki kualitas transportasi publik. Saat ini warga Jakarta telah memiliki beberapa opsi ketika hendak menggunakan transportasi publik, seperti: Transjakarta, KRL Commuter Line, Mass Rapid Transportation (MRT), hingga Light Rapid Transportation (LRT). Menariknya moda transportasi yang ada juga telah terintegrasi satu sama lainnya.
3. Adanya lingkungan alam yang bersih, termasuk air dan udara. Polusi udara telah menjadi persoalan yang dihadapi Pemerintah Provinsi Jakarta. Bahkan awal tahun 2020, kualitas udara di Jakarta berada di peringkat ke-10 terburuk di dunia (Friana, 2020). Begitupula dengan masalah ketersediaan air bersih yang masih melanda warga Jakarta, khususnya yang berada di Jakarta Utara mengingat lokasinya yang berada dekat dengan laut dan banyaknya pemukiman yang dibangun di atas rawa. Selain itu, wilayah padat penduduk di Jakarta juga terancam ketersediaan air bersih mengingat ruang terbuka di Jakarta yang terbatas sehingga tidak bisa menampung air dalam jumlah yang banyak. Dengan hilangnya status ibukota justru diharapkan dapat mengurangi permasalahan ini. Harus diakui persoalan lingkungan menjadi salah satu tantangan terbesar bagi Jakarta jika hendak menjadi kota global.
4. Adanya pendidikan umum yang berkualitas mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Di Jakarta telah ada tiga perguruan tinggi negeri, yaitu: Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Sebagai tambahan, terdapat pula Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN Syahid) yang berlokasi di Ciputat, Tangerang Selatan, yang hanya berjarak lima menit dengan perbatasan Jakarta. Belum lagi dengan adanya puluhan universitas swasta yang berkualitas, baik di dalam maupun di wilayah sub-urban Jakarta.
5. Adanya sistem keamanan publik, seperti: pemadam kebakaran, jasa darurat kesehatan dan peran polisi yang optimal dalam melakukan aksi preventif dalam mencegah tindak criminal dan bencana. Jakarta sebagai kota besar tentu memiliki sistem keamanan yang lebih unggul, ketimbang daerah lainnya. Status sebagai ibu kota telah membuat Jakarta memiliki skala prioritas keamanan yang tinggi. Hal ini yang menjadi modal berharga ketika Jakarta tidak lagi menjadi ibu kota. Setidaknya terdapat portfolio yang jelas mengenai mekanisme keamanan wilayah. Hanya saja, upaya pihak keamanan untuk menekan tingkat kejahatan maupun kriminalitas haruslah ditingkatkan agar semakin membuat nyaman warga untuk hidup di Jakarta.
6. Adanya ragam pemukiman yang berkualitas juga menunjang kehidupan warga. Tetapi, status Jakarta sebagai ibukota telah membuat harga property melambung tinggi. Banyak pekerja yang akhirnya memutuskan untuk tinggal di daerah pinggiran Jakarta karena relatif lebih murah. Belum lagi dengan adanya sistem transportasi massal yang turut beroperasi hingga daerah pinggiran Jakarta. Pemprov Jakarta sendiri telah mengupayakan pemukiman yang terjangkau oleh warga dengan menawarkan apartemen bersubsidi di beberapa titik kota. Hanya saja, cara pandang warga lebih memilih untuk membeli rumah, ketimbang apartemen karena dianggap memiliki nilai investasi yang lebih tinggi.
7. Adanya penduduk yang sehat yang didukung oleh jasa publik dan akses pelayanan kesehatan yang mudah. Adanya Kartu Jakarta Sehat (KJS) menjadi salah satu upaya Pemprov Jakarta untuk meningkatkan kualitas kesehatan warganya. Tetapi, harus diakui hal ini tidaklah cukup jika kondisi lingkungan Jakarta masih memprihatinkan, termasuk dengan masih tingginya polusi udara, sanitasi yang buruk, dan permasalahan lingkungan lainnya. Oleh karenanya Pemprov harus mampu mengintegrasikan jasa kesehatan ini dengan jasa pelayanan publik lainnya yang berkaitan dengan lingkungan.
8. Adanya komunitas masyarakat yang kuat dan stabil yang ditinjau dari tingkat kemiskinan dan pengangguran yang rendah. Selain itu, konsentrasi penduduk juga harus tersebar mengisi setiap sudut kota, tetapi tidak boleh didasari oleh permasalahan ras, etnis maupun agama.
9. Adanya ragam destinasi hiburan yang meliputi unsur budaya, kewargaan, dan aktivitas bisnis yang dapat menjadi opsi ketika warga hendak untuk menghabiskan waktu luang, baik bersama keluarga maupun kolega. Jakarta sendiri telah memiliki ragam tempat hiburan tersebut dan akan terus meningkatkan kualitasnya seiring berjalannya waktu. Bahkan status Jakarta sebagai destinasi hiburan telah ada sejak zaman Belanda dengan disematkannya istilah Queen of the East pada kota ini. (Shahab, 2012).
10. Adanya lahan parkir yang terbuka, mudah diakses dan aman, baik untuk manusia maupun lingkungan. Seiring dengan digalakkannya penggunaan transportasi massal, Pemprov Jakarta turut memperbanyak lahan parkir, khususnya di masingmasing ujung jalur transportasi massal. Belum lagi dengan lahan parkir di perkantoran maupun tempat hiburan yang relatif luas dan mampu menampung banyak kendaraan. Tetapi, guna meningkatkan penggunaan transportasi massal dan dalam rangka mengurangi tingkat polusi udara, ada baiknya Pemprov Jakarta menetapkan regulasi parkir yang baru dengan meningkatkan biaya parkir, sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah kota New York, Amerika Serikat.
11. Adanya sumber sejarah dan budaya. Jakarta sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya merupakan kota dengan wajah lokal dengan semangat multikultural. Terdapat beberapa lokasi yang menawarkan budaya Betawi, seperti yang terletak di Setu babakan, Jagakarsa. Jakarta juga memiliki sumber sejarah bangsa sebagaimana yang tampak dengan berdirinya beragam museum, termasuk museum nasional. Selain itu, jika ingin menikmati hasil budaya kontemporer, Jakarta juga memiliki tempat yang mampu menyelenggarakan acara semacam itu, seperti Galeri Nasional maupun museum macan. 12. Adanya kehidupan bertetangga yang positif dimana terdapat banyak tempat, seperti: sekolah, tempat perbelanjaan, restoran maupun tempat-tempat hiburan yang dapat menjadi titik kumpul antar warga. Di tempat itulah para warga saling berinteraksi satu sama lain dan membentuk sebuah hubungan yang dekat. Sebagai tambahan, ada baiknya antar tempat tersebut dapat dijangkau dengan berjalan kaki atau sepeda. Tujuannya adalah untuk menekan tingkat polusi dan menunjang tata cara hidup sehat perkotaan. Untuk itu, Pemprov Jakarta harus meningkatkan kualitas pedestrian dan memperbanyak akses jalan untuk sepeda.
Kemampuan Jakarta untuk memenuhi ke-12 karakter ini menjadi modal berharga untuk mengembangkan diri sebagai kota global. Memang, masih terdapat tantangan yang harus dihadapi. Tetapi, seharusnya hal itu bukan menjadi persoalan besar karena dapat dilakukan
secara bertahap. Penting untuk dicatat bahwa perkembangan Jakarta menuju kota global turut dipengaruhi oleh adanya status khusus yang dapat membantu kota ini dalam mempersiapkan sesuatunya dengan baik. Jangan sampai upaya menuju kota global terhambat oleh aktivitas elit politik tertentu.
D. Penutup
Jika wacana pemindahan ibu kota jadi dilakukan, maka hal itu bukanlah sesuatu hal yang harus dikhawatirkan oleh Jakarta. Sebaliknya, pemindahan ibu kota dapat menjadi sarana bagi Jakarta untuk mencapai dua target dasar. Pertama, menguraikan permasalahanpermasalahan kota yang selama ini menjadi ancaman tersendiri bagi Jakarta, seperti: kepadatan penduduk yang berdampak pada kemacetan; tingginya tingkat polusi udara dan rendahnya ketersediaan air bersih; keberadaan pemukiman kumuh; dan lain-lain. Kedua, kesempatan bagi Jakarta untuk meningkatkan status dari ibu kota yang cenderung bersifat lokal menjadi kota global dengan semangat kosmopolitan. Harapannya tentu saja untuk menjadikan Jakarta lebih baik yang nantinya akan berdampak bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Komentar Anda