Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi DKI Jakarta 2016 mencapai 70,85 dalam skala indeks 0 sampai 100. Angka ini mengalami penurunan dibandingkan dengan IDI Provinsi DKI Jakarta 2015 yang capaiannya sebesar 85,32. Meskipun sedikit mengalami perubahan, tingkat demokrasi Provinsi DKI Jakarta tersebut masih termasuk dalam kategori “sedang”.
Capaian IDI Provinsi DKI Jakarta dari tahun 2009 hingga 2016 mengalami fluktuasi. Pada awal mula dihitung tahun 2009, capaian IDI sebesar 73,91. Angka ini terus mengalami perubahan hingga mencapai momen tertingginya pada tahun 2015 sebesar 85,32; walaupun pada akhirnya kembali turun di tahun 2016 menjadi 70,85.
Fluktuasi angka IDI adalah cerminan situasi dinamika demokrasi di Indonesia. IDI sebagai sebuah alat ukur perkembangan demokrasi yang khas Indonesia memang dirancang untuk sensitif terhadap naik-turunnya kondisi demokrasi. IDI disusun secara cermat berdasarkan kejadian (evidence-based) sehingga potret yang dihasilkan merupakan refleksi realitas yang terjadi.
Perkembangan Indeks Aspek-Aspek IDI
Angka IDI Provinsi DKI Jakarta 2016 merupakan indeks komposit yang disusun dari nilai tiga aspek yakni aspek Kebebasan Sipil yang bernilai 81,11; aspek Hak-Hak Politik yang bernilai 67,54; dan aspek Lembaga Demokrasi yang bernilai 63,19.Pada tahun 2016, ketiga aspek mengalami penurunan dibandingkan tahun 2015. Meskipun capaiannya masih menjadi yang tertinggi di antara aspek lainnya, aspek Kebebasan Sipil menunjukkan kecenderungan trend yang semakin menurun. Sementara itu, aspek Lembaga Demokrasi menjadi aspek dengan penurunan nilai terbesar dan menempatkannya menjadi aspek dengan nilai terendah.
Dalam tiga aspek demokrasi yang diukur pada tahun 2016, indeks aspek Kebebasan Sipil mengalami penurunan 8,53 poin dibandingkan tahun 2015. Sementara itu, nilai indeks aspek Hak-Hak Politik dan Lembaga Demokrasi masing-masing mengalami penurunan sebesar 15,65 poin dan 20,07 poin.
Serupa dengan tahun 2015, pada tahun 2016 tidak ada lagi indeks aspek yang berkategori “buruk”. Pada tahun 2015, ketiga indeks aspek berkategori “baik”, namun pada tahun 2016 Indeks aspek Hak-Hak Politik dan Lembaga Demokrasi turun menjadi kategori “sedang”, sementara aspek Kebebasan Sipil tetap berada pada kategori “baik”.
Perkembangan Indeks Variabel IDI
Pada tahun 2016 terdapat sembilan variabel yang mengalami penurunan indeks, satu variabel yang mengalami peningkatan dan satu variabel yang tidak berubah (tetap). Dari sembilan variabel yang mengalami penurunan, dua di antaranya menurun cukup tajam. Variabel Peran Birokrasi Pemerintah Daerah menurun paling tajam yaitu sebesar 53,04 poin, dari 57,56 pada 2015 menjadi
4,52 pada 2016. Penurunan terbesar kedua terjadi pada variabel Kebebasan Berkumpul dan Berserikat yang turun 49,22 poin, dari 97,66 pada 2015 menjadi 48,44 pada 2016.Di sisi lain, variabel Hak Memilih dan Dipilih meningkat sedikit sebesar 0,22 poin, dari 77,26 pada 2015 menjadi 77,48 pada 2016. Selain variabel Hak Memilih dan Dipilih tersebut, di tahun 2016 tidak ada peningkatan indeks pada variabel lain. Penurunan nilai indeks yang cukup signifikan pada semua variabel ternyata tidak sampai membuat Indeks aspek pada Indikator Demokrasi Indonesia di Provinsi DKI Jakarta berada di kategori “buruk”
Perkembangan Skor Indikator IDI Provinsi DKI Jakarta
Pada IDI Provinsi DKI Jakarta 2016, dari 28 indikator terdapat 9 yang mencapai kinerja kategori “baik” (skor di atas 80), meliputi:
Indikator 5, Aturan Tertulis yang Membatasi Kebebasan Menjalankan Ibadah Agama,
Indikator 6, Tindakan/Pernyataan Pejabat yang Membatasi Kebebasan Menjalankan Ibadah Agama,
Indikator 9, Tindakan/Pernyataan Pejabat yang Diskriminatif dalam Hal Gender, Etnis, dan Kelompok,
Indikator 11, Kejadian di mana hak memilih atau dipilih masyarakat terhambat,
Indikator 18, Keberpihakan KPUD dalam Penyelenggaraan Pemilu,
Indikator 19, Kecurangan dalam Penghitungan Suara,
?Indikator 20, Skor alokasi anggaran pendidikan dan kesehatan,
Indikator 27, Keputusan Hakim yang Kontroversial, dan
Indikator 28, Penghentian Penyidikan yang Kontroversial oleh Jaksa atau Polisi.
Meskipun demikian, masih terdapat juga kinerja indikator demokrasi yang berkategori “buruk” (skor di bawah 60) di tahun 2016. Indikator-indikator yang termasuk dalam kategori tersebut adalah:
Indikator 1, Ancaman kekerasan atau penggunaan kekerasan oleh aparat pemerintah yang menghambat kebebasan berkumpul dan berserikat,
Indikator 2, Ancaman kekerasan atau penggunaan kekerasan oleh masyarakat yang menghambat kebebasan berkumpul dan berserikat,
Indikator 4, Ancaman/Penggunaan Kekerasan oleh Masyarakat yang Menghambat Kebebasan Berpendapat,
Indikator 8, Aturan tertulis yang diskriminatif dalam hal gender, etnis atau terhadap kelompok rentan lainnya,
Indikator 16, Demonstrasi/Mogok yang Bersifat Kekerasan,
Indikator 21, Perda yang Merupakan Inisiatif DPRD,
Indikator 22, Rekomendasi DPRD Kepada Eksekutif,
Indikator 23, Kegiatan Kaderisasi yang Dilakukan Peserta Pemilu,
Indikator 25, Jumlah kebijakan pejabat pemerintah daerah yang dinyatakan bersalah oleh keputusan PTUN, dan
Indikator 26, Upaya Penyediaan Informasi APBD oleh Pemerintah Daerah.
Indikator-indikator tersebut di atas memerlukan perhatian khusus dari semua pihak agar nilainya dapat membaik.
Penjelasan Teknis
Pembangunan demokrasi dan politik merupakan hal yang penting dan terus diupayakan oleh pemerintah. Namun, untuk mengukur pencapaiannya baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat bukan sesuatu hal yang mudah. Pembangunan demokrasi memerlukan data empirik untuk dapat dijadikan landasan pengambilan kebijakan dan perumusan strategi yang spesifik dan akurat. Untuk memberikan gambaran mengenai perkembangan demokrasi politik di Indonesia maka sejak tahun 2009, Badan Pusat Statistik (BPS) bersama stakeholder lain seperti Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (KEMENKOPOLHUKAM), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), Kementerian Dalam Negeri (KEMENDAGRI), dan Tim Ahli yaitu Prof. Maswadi Rauf (UI), Prof. Musdah Mulia (UIN Syarif Hidayatullah), Dr. Syarif Hidayat (LIPI), dan Dr. Abdul Malik Gismar (Universitas Paramadina) merumuskan pengukuran Indeks Demokrasi Indonesia (IDI).
IDI adalah indikator komposit yang menunjukkan tingkat perkembangan demokrasi di Indonesia. Tingkat capaiannya diukur berdasarkan pelaksanaan dan perkembangan tiga aspek demokrasi, yaitu Kebebasan Sipil (Civil Liberty), Hak-Hak Politik (Political Rights), dan Lembaga-Lembaga Demokrasi (Institution of Democracy).
IDI bertujuan untuk mengukur secara kuantitatif tingkat perkembangan demokrasi. Dari indeks tersebut akan terlihat perkembangan demokrasi sesuai dengan ketiga aspek yang diukur. Di samping level nasional, IDI juga dapat memberikan gambaran perkembangan demokrasi di provinsi-provinsi seluruh Indonesia. IDI tidak hanya melihat gambaran demokrasi yang berasal dari sisi kinerja pemerintah/birokrasi saja. Namun juga melihat perkembangan demokrasi dari aspek peran masyarakat, lembaga legislatif (DPRD), partai politik, lembaga peradilan dan penegak hukum. Oleh karena itu, perkembangan IDI merupakan tanggung jawab bersama semua stakeholder, tidak hanya pemerintah saja.
Pengumpulan data IDI mengkombinasikan pendekatan kuantitatif dan kualitatif sebagai tahapan yang saling melengkapi. Pada tahap pertama data kuantitatif dikumpulkan dari koding surat kabar dan dokumen tertulis seperti Perda atau peraturan dan surat keputusan kepala daerah, yang sesuai dengan indikator-indikator IDI. Temuan-temuan tersebut kemudian diverifikasi dan dielaborasi melalui Focus Group Discussion (FGD) sebagai tahap pengumpulan data kedua, sekaligus menggali kasus-kasus yang tidak tertangkap di koding surat kabar/dokumen. Pada tahap ketiga data-data yang telah terkumpul tersebut diverifikasi melalui wawancara mendalam dengan nara sumber yang kompeten memberikan informasi tentang indikator IDI. Semua tahapan pengumpulan data dilakukan oleh BPS Provinsi, diolah di BPS RI, dan diverifikasi oleh Dewan Ahli beserta mitra kerja lain pada semua tahapannya
Penghitungan IDI melalui tiga tahapan proses yakni pertama, menghitung skor akhir untuk setiap indikator; kedua, menghitung indeks provinsi; dan ketiga, menghitung indeks keseluruhan atau IDI Nasional. Ketiga tahapan ini secara hierarkis terkait satu dengan yang lain. Skor masing-masing indikator IDI (28 indikator) di setiap provinsi memberikan kontribusi dalam penghitungan indeks 11 variabel IDI, selanjutnya indeks 11 variabel memberikan kontribusi terhadap penghitungan indeks tiga
aspek IDI. Komposit indeks ketiga aspek IDI inilah yang merefleksikan indeks demokrasi di masing-masing provinsi. Dan pada akhirnya komposit indeks provinsi menentukan IDI Nasional.
Untuk menggambarkan capaian tingkat demokrasi dalam IDI digunakan skala 0 – 100. Skala ini merupakan skala normatif di mana 0 adalah tingkat terendah dan 100 adalah tingkat tertinggi. Tingkat terendah (nilai indeks = 0) secara teoretik dapat terjadi bila semua indikator mendapatkan skor yang paling rendah (skor 0). Sebaliknya, tingkat tertinggi (nilai indeks = 100) secara teoritik dimungkinkan apabila seluruh indikator memperoleh skor tertinggi. Selanjutnya, untuk memberi makna lebih lanjut dari variasi indeks yang dihasilkan, skala 0 – 100 tersebut dibagi ke dalam tiga kategori tingkat demokrasi, yakni “baik” (indeks > 80), “sedang” (indeks 60 – 80), dan “buruk” (indeks < 60).
Komentar Anda